Senin, 30 Mei 2011

FONETIK


1. Prinsip Studi Fonetik

Kemampuan mengkomunikasikan sesuatu bergantung pada fungsi alat-alat bicara, dan saling mengenal serta memahami bunyi-bunyi yang digunakan. Apabila kita menganalisis suatu ujaran kita dapat mendekatinya dari beberapa level. Ujaran adalah masalah anatomi dan fisiologi. Ujaran juga merupakan transmisi sebagai gelombang bunyi. Yang paling penting Anda dapat mempelajari ujaran dalam arti bunyi bahasa itu didengar oleh pendengar, yang dapat dianalisis bagaimana proses gelombang bunyi itu dipahami oleh pendengar. Ujaran dipandang sebagai suatu aktivitas manusia yang sistematis dan terorganisir dalam kondisi normal, ujaran itu membawakan makna.

Pandangan terhadap ujaran secara garis besar menjadi dasar bagi studi fonologi: Pandangan terhadap anatomi dan fisiologi dari organ manusia yang menghasilkan ujaran, pandangan terhadap ujaran sebagai gelombang bunyi yang bisa dianalisa dari segi fisiknya, dan pandangan terhadap bagaimana bunyi ujaran itu diterima oleh pendengarnya.

2. Jenis-Jenis Fonetik

Secara umum fonetik dibedakan dalam tiga jenis berdasarkan prinsip-prinsip dasar studi fonetik:

a. Fonetik organis

Fonetik organis adalah fonetik yang mempelajari bagaimana bunyi bahasa dihasilkan oleh alat-alat ucap bicara. Fonetik ini juga mempelajari bagaimana bunyi itu dikelompokkan berdasarkan artikulasinya.


b. Fonetik akustik

Dalam fonetik akustik dipelajari bunyi bahasa menurut aspek fisisnya sebagai getaran suara. Bunyi-bunyi bahsa diselidiki frekuensi getarannya, simpang getarannya, intensitas, dan timbre.

c. Fonetik auditoris

Fonetik auditoris mempelajari cara penerimaan bunyi-bunyi bahasa oleh alat pendengaran.

3. Alat Bicara

Beberapa alat ucap yang perlu dikenal antara lain:
a. Paru-paru
Fungsi pokoknya untuk pernafasan. Bernafas adalah mengalirkan udara ke dalam paru-paru (menarik nafas), dan proses mengeluarkan udara kotor (menghmbuskan nafas.

b. Pangkal Tenggorok
Pangkal tenggorok adalah rongga pada ujung pipa pernafasan.

c. Rongga Kerongkongan
Terletak diantara pangkal tenggorok dengan rongga mulut dan rongga hidung. Dalam pembentukan bunyi bahasa, hanya sebagai tabung udara yang akan ikut bergetar bila pita suara bergetar.

d. Langit-langit Lunak
Pada saat langit-langit lunak serta anak tekaknya naik, menutup rongga hidung, arus udara melalui rongga mulut , maka dihasilkan bunyi bahasa non nasal. Pada saat langit-langit lunak serta anak tekak turun, udara keluar masuk melaui rongga hidung, maka dihasilkan bunyi bahasa nasal.

e. Langit-Langit Keras

Dalam pembentukan bunyi bahasa, langit-langit keras sebagai artikulator pasif.

f. Gusi Dalam
Ini adalah bagian gusi tempat letak akar gigi depan atas bagian belakang, terletak tepat di atas belakang gigi yang melengkung ke dalam menghadap lidah. Gusi dalam sebagai artikulator pasif.

g. Gigi
Berfungsi penuh sebagai artikulator.

h. Bibir
Dalam manghasilkan bunyi bahasa, bibir atas sebagai artikulator pasif dan bibir bawah sebagai articulator aktif.

i. Lidah
Dalam pembentukan bunyi bahasa, lidah sebagai artikulator aktif.

Artikulator aktif adalah artikulator yang dalam proses penghasilan bunyi bahasa degerakkan. Artikulator pasih adalah artikulator yang dalam penghasilan bunyi bahasa tidak digerakkan, namun disentuh oleh artikulator aktif. Titik temu artikulator aktif dan pasif disebut striktur.

4. Cara Kerja Artikulator

Aber Combie D. (1997, 32) mengelompokkan tiga subsistem cara kerja artikulator, yaitu:

a. Subsistem Abdominal
Artikulator yang termasuk subsistem ini adalah paru-paru, otot perut, dan diafragma, yang seluruhnya ada dalam rongga perut.

b. Subsistem Fonatoris
Artikulator yang termasuk subsistem ini adalah batang tenggorok, pangkal tenggorok, pita suara, dan rongga kerongkongan, yang dseluruhnya ada dalam rongga dada dan leher.

c. Subsistem Artikulatoris
Artikulator yang termasuk subsistem ini adalah sebagai artikulator aktir, dan daerah sepanjang atap mulut dari gigi sampai dengan anak tekak sebagai artikulator pasif.

5. Cara Terjadinya Bunyi Bahasa

Tiga sarana pengelompokan bunyi bahasa, yaitu: arus udara, titik artikulasi (hambatan), dan bergetar/tidak bergetarnya pita suara.
Beberapa titik artikulasi yang menjadi hambatan atau nama lain bunyi bahasa antara lain:
a. Bibir bawah dan bibir atas (bilafium) menghasilkan bunyi bilafial.
b. Bibir bawah dan gigi atas (lafeum dentum) menghasilkan bunyi lafio dental.
c. Ujung lidah dan gigi atas (aspek dentumum) menghasilkan bunyi apikodental.
d. Ujung lidah dan gusi atas (apekalveolus) menghasilkan bunyi apikoalveolar.
e. Ujung lidah dan langit-langit keras (aspek palatum) menghasilkan bunyi apiko palatal.
f. Daun lidah dan gusi dalam (Lamino alveolus) menghasilkan bunyi laino alveolar.
g. Daun lidah dan langit-langit keras (Lamino palatal) menghasilkan bunyi lanino palatal.
h. Tengah lidah dan langit-langit keras (medioo palatal) menghasilkan bunyi medio palatal.
i. Punggung lidah dan langit-langit lembut (darto velum) menghasilkan bunyi darso velar.
j. Anak tekak (uvula) menghasilkan bunyi uvular.
k. Laring (tenggorokan) menghasilkan bunyi laririfal.
l. Glotum (celah pita suara) menghasilkan bunyi glottal.

6. Klasifikasi Bunyi Bahasa

Bunyi bahasa diklasifikasikan berdasarkan beberapa cara:
a. Klasifikasi bunyi bahasa berdasarkan ada tidaknya hambatan
b. Klasifikasi bunyi bahasa berdasarkan ada tidaknya arus udara ke rongga hidung
c. Klasifikasi bunyi bahasa berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara
d. Klasifikasi bunyi bahasa berdasarkan lamanya bunyi bahasa itu diartikulasikan
e. Klasifikasi bunyi bahasa berdasarkan kedudukan bunyi pada suku kata
f. Klasifikasi bunyi bahasa berdasarkan derajat kenyaringan
g. Klasifikasi bunyi bahasa berdasarkan arus udara
7. Koartikulasi

Koartikulasi atau arikulasi sekunder adalah saling pengaruh antara satu bunyi dengan bunyi yang lain dapat ditinjau dari tempat artikulasi yang mempengaruhi. Menurut tempat artikulasinya, ada beberapa gejala koartikulasi, yaitu labelisasi, retrofleksi, palatalisasi, velarisasi, glotalisasi, dan nasalisasi.

8. Silaba

Silaba/silabe adalah satuan ritmis terkecil dalam arus ujaran. Dalam arus ujaran terdengarlah yang paling nyaring dan tidak nyaring. Puncak kenyaringan itu adalah puncak silaba.
a. Struktur silaba
Tinjauan struktur silaba sebuah bahasa melalui beberapa aspek, yaitu secara fonetik, fonemik, dan morfologik.
Dari aspek fonetik, silaba ditentukan oleh tingkat sonoritas dan bafas suku.
Dari aspek fonemik. Silaba perlu ditambahkan ketentuan distribusi bunyi.

b. Kluster
Beberapa kontoid yang berfungsi sebagai onset (awal silaba), maupun mengakhiri silaba (sebagai koda) disenut kluster.

c. Diftong
Diftory adalah gugus vokoid atau gugus rangkap yang berfungsi sebagai puncak, artinya dua vokoid ini terdapat dalamsatu silaba.

9. Ciri-Ciri Prosodi

Dalam pelaksanaan ujaran, terdapat dua elemen, yaitu elemen yang dapat disegmenkan (disebut elemen segmental; Misalnya rangkaian kontoid dan vokoid) dan elemen yang menyertai elemen yang dapat disegmenkan (supra segmental). Beberapa ciri-ciri prosodi, antara lain:

a. Panjang atau kuantitas

Panjang pendek lamanya bunyi diucapkan suatu bunyi segmental, yang waktu diucapkannya oleh alat-alat ucap dipertahankan cukup lama, pastilah disertai bunyi supra segmental dengan ciri prosodi yang panjang.

b. Nada (pitch)
Nada menyangkut tinggi rendahnya sutau bunyi. Salah satu variasi dari titinada adalah intonasi. Dalam pelaksanaan ujaran kita temui beberapa macam nada;
• Nada naik: nada yang meninggi, ditandai dengan [….] [….]
• Nada datar, ditandai dengan [---]
• Nada turun: nada yang merendah, ditandai dengan [..\...]
• Nada turun naik: nada yang merendah kemudian meninggi, ditandai dengan[..\./..]
• Nada naik turun; nada yang meninggi kemudian merendah, ditandai dengan [../.\..]
Intonasi nada dibedakan menjadi empat:
1. Nada rendah ditandai dengan angka 1
2. Nada sedang ditandai dengan angka 2
3. Nada tinggi ditandai dengan angka 3
4. Nada sangat tinggi ditandai dengan angka 4

c. Tekanan
Verhaar membedakan atas aksen tekan dan aksen nada. Aksen tekan berkaitan dengan amplitude, sedangkan aksen nada berkaitan dengan frekuensi getarannya.

d. Jeda
Jeda menyangkut pemberhentian dakam bahasa. Suatu bunyi segmental dalam suku kata, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana, pastilah disertai dengan bunyi supra segmental perhentian di sana-sini. Bunyi suprasegmental di sana-sini itu disebut jeda.
Menurut tempatnya, jeda dibedakan atas:
1. Jeda antar suku kata dalam kata yang ditandai dengan [+]
2. Jeda antar kata dalam frase yang ditandai dengan [/]
3. Jeda antar frase dalam klausa ditandai dengan [//]
4. Jeda antar kalimat yang ditandai dengan [#]

10. Transkripsi Fonetis


Transkripsi adalah penulisan tuturan atau pengubahan teks dengan tujuan untuk menyarankan lafal bunyi, fonem, morfem, atau tulisan sesuai dengan ejaan yang berlaku dalam suatu bahasa yang menjadi sasarannya.
Terdapat empat jenis transkripsi, yaitu:
a. Transkripsi fonetis, yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi, ditandai dengan […..]
b. Transkripsi fonemis, yaitu penulisan pengubahan menurut fonem, ditandai dengan /…../
c. Transkripsi morfemis, yaitu penulisan pengubahan menurut morfem, ditandai dengan {….}
d. Transkripsi ortografis, yaitu penulisan pengubahan menurut huruf dan ejaan bahasa menjadi tujuannya.

11. Asimilasi

Saling pengaruh antara satu bunyi dengan bunyi yang lain, dapat ditinjau dari akibat yang ditimbulkannya. Akibat dari pengaruh-mempengaruhi bunyi disebut asimilasi. Dalam hal ini Verhaar (1981) membedakan atas asimilasi fonetis dan asimilasi fonemis. Asimilasi fonetis yaitu pengaruh-mempengaruhi bunyi tanpa mengubah identitas fonem. Asimilasi fonemis yaitu pengaruh-mempengaruhi bunyi yang mengubah fonem. Menurut arahnya, asimilasi dibedakan atas:

a. Asimilasi Progresif
Terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke depan. Dalam bahasa Jaaw misalnya bunyi [t] diucapkan sebagai bunyi apikodental akan tetapi kata [stasiun] karena pengaruh bunyi [s], maka bunyi [t] yang semula apikodental menjadi lamino alveolar.

b. Asimilasi Regresif
Terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke belakang. Dalam bahasa Jawa misalnya bunyi [n] diucapkan sebagai bunyi apiko alveolar akan tetapi kata [pendiam], nasal [n] sebelum [d] itu, diucapkan secara apiko-palatal.

Tidak ada komentar: